Senin, 27 Desember 2010

Aku Mencintaimu, Suamiku ^_^

aku menangis membaca ini.... (Aku Mencintaimu, Suamiku...)

P.s jangan membaca ini di depan umum jika anda akan merasa malu untuk meneteskan air mata anda

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Cerita ini adalah kisah nyata… di mana perjalanan hidup ini ditulis oleh seorang istri dalam sebuah laptopnya.

Bacalah, semoga kisah nyata ini menjadi pelajaran bagi kita semua. Cinta itu butuh kesabaran…Sampai di manakah kita harus bersabar menanti cinta kita??? Hari itu.. aku dengannya berkomitmen untuk menjaga cinta kita..
Aku menjadi perempuan yg paling bahagia…..
Pernikahan kami sederhana namun meriah….. Ia menjadi pria yang sangat romantis pada waktu itu.
Aku bersyukur menikah dengan seorang pria yang shaleh, pintar, tampan & mapan pula. Ketika kami berpacaran dia sudah sukses dalam karirnya.

Kami akan berbulan madu di tanah suci, itu janjinya ketika kami berpacaran dulu.. Dan setelah menikah, aku mengajaknya untuk umroh ke tanah suci….
Aku sangat bahagia dengannya, dan dianya juga sangat memanjakan aku… sangat terlihat dari rasa cinta dan rasa sayangnya pada ku. Banyak orang yang bilang kami adalah pasangan yang serasi. Sangat terlihat sekali bagaimana suamiku memanjakanku. Dan aku bahagia menikah dengannya.

Lima tahun berlalu sudah kami menjadi suami istri, sangat tak terasa waktu begitu cepat berjalan walaupun kami hanya hidup berdua saja karena sampai saat ini aku belum bisa memberikannya seorang malaikat kecil (bayi) di tengah keharmonisan rumah tangga kami. Karena dia anak lelaki satu-satunya dalam keluarganya, jadi aku harus berusaha untuk mendapatkan penerus generasi baginya.

Alhamdulillah saat itu suamiku mendukungku… Ia mengaggap Allah belum mempercayai kami untuk menjaga titipan-NYA. Tapi keluarganya mulai resah. Dari awal kami menikah, ibu & adiknya tidak menyukaiku. Aku sering mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari mereka, namun aku selalu berusaha menutupi hal itu dari suamiku…

Didepan suami ku mereka berlaku sangat baik padaku, tapi dibelakang suami ku, aku dihina-hina oleh mereka Pernah suatu ketika satu tahun usia pernikahan kami, suamiku mengalami kecelakaan, mobilnya hancur. Alhamdulillah suami ku selamat dari maut yang hampir membuat ku menjadi seorang janda itu.

Ia dirawat dirumah sakit pada saat dia belum sadarkan diri setelah kecelakaan. Aku selalu menemaninya siang & malam sambil kubacakan ayat-ayat suci Al – Qur’an. Aku sibuk bolak-balik dari rumah sakit dan dari tempat aku melakukan aktivitas sosial ku, aku sibuk mengurus suamiku yang sakit karena kecelakaan.

Namun saat ketika aku kembali ke rumah sakit setelah dari rumah kami, aku melihat di dalam kamarnya ada ibu, adik-adiknya dan teman-teman suamiku, dan disaat itu juga.. aku melihat ada seorang wanita yang sangat akrab mengobrol dengan ibu mertuaku. Mereka tertawa menghibur suamiku.

Alhamdulillah suamiku ternyata sudah sadar, aku menangis ketika melihat suami ku sudah sadar, tapi aku tak boleh sedih di hadapannya.

Kubuka pintu yang tertutup rapat itu sambil mengatakan, “Assalammu’alaikum” dan mereka menjawab salam ku. Aku berdiam sejenak di depan pintu dan mereka semua melihatku. Suamiku menatapku penuh manja, mungkin ia kangen padaku karena sudah 5 hari mata nya selalu tertutup.

Tangannya melambai, mengisyaratkan aku untuk memegang tangannya erat. Setelah aku menghampirinya, kucium tangannya sambil berkata “Assalammu’alaikum”, ia pun menjawab salam ku dengan suaranya yg lirih namun penuh dengan cinta. Aku pun senyum melihat wajahnya.

Lalu.. Ibu nya berbicara denganku …
“Fis, kenalkan ini Desi teman Fikri”. Aku teringat cerita dari suamiku bahwa teman baiknya pernah mencintainya, perempuan itu bernama Desi dan dia sangat akrab dengan keluarga suamiku. Hingga akhirnya aku bertemu dengan orangnya juga. Aku pun langsung berjabat tangan dengannya, tak banyak aku bicara di dalam ruangan tersebut,aku tak mengerti apa yg mereka bicarakan.

Aku sibuk membersihkan & mengobati luka-luka di kepala suamiku, baru sebentar aku membersihkan mukanya, tiba-tiba adik ipar ku yang bernama Dian mengajakku keluar, ia minta ditemani ke kantin. Dan suamiku pun mengijinkannya. Kemudian aku pun menemaninya. Tapi ketika di luar adik ipar ku berkata, ”lebih baik kau pulang saja, ada kami yg menjaga abang disini. Kau istirahat saja. ”

Anehnya, aku tak diperbolehkan berpamitan dengan suamiku dengan alasan abang harus banyak beristirahat dan karena psikologisnya masih labil. Aku berdebat dengannya mempertanyakan mengapa aku tidak diizinkan berpamitan dengan suamiku. Tapi tiba-tiba ibu mertuaku datang menghampiriku dan ia juga mengatakan hal yang sama. Nantinya dia akan memberi alasan pada suamiku mengapa aku pulang tak berpamitan padanya, toh suamiku selalu menurut apa kata ibunya, baik ibunya Salah ataupun Tidak, suamiku tetap saja membenarkannya. Akhirnya aku pun pergi meninggalkan rumah sakit itu dengan linangan air mata.

Sejak saat itu aku tidak pernah diijinkan menjenguk suamiku sampai ia kembali dari rumah sakit. Dan aku hanya bisa menangis dalam kesendirianku. Menangis mengapa mereka sangat membenciku.
***
Hari itu.. aku menangis tanpa sebab, yang ada di benakku aku takut kehilangannya, aku takut cintanya dibagi dengan yang lain. Pagi itu, pada saat aku membersihkan pekarangan rumah kami, suamiku memanggil ku ke taman belakang, ia baru saja selesai sarapan, ia mengajakku duduk di ayunan favorit kami sambil melihat ikan-ikan yang bertaburan di kolam air mancur itu.
Aku bertanya, ”Ada apa kamu memanggilku?”
Ia berkata, ”Besok aku akan menjenguk keluargaku di Sabang”
Aku menjawab, ”Ia sayang.. aku tahu, aku sudah mengemasi barang-barang kamu di travel bag dan kamu sudah memeegang tiket bukan?”
“Ya tapi aku tak akan lama disana, cuma 3 minggu aku disana, aku juga sudah lama tidak bertemu dengan keluarga besarku sejak kita menikah dan aku akan pulang dengan mama ku”, jawabnya tegas.
“Mengapa baru sekarang bicara, aku pikir hanya seminggu saja kamu disana?“, tanya ku balik kepadanya penuh dengan rasa penasaran dan sedikit rasa kecewa karena ia baru memberitahukan rencana kepulanggannya itu, padahal aku telah bersusah payah mencarikan tiket pesawat untuknya.
”Mama minta aku yang menemaninya saat pulang nanti”, jawabnya tegas.

”Sekarang aku ingin seharian dengan kamu karena nanti kita 3 minggu tidak bertemu, ya kan?”, lanjut nya lagi sambil memelukku dan mencium keningku. Hatiku sedih dengan keputusannya, tapi tak boleh aku tunjukkan pada nya. Bahagianya aku dimanja dengan suami yang penuh dengan rasa sayang & cintanya walau terkadang ia bersikap kurang adil terhadapku.

Aku hanya bisa tersenyum saja, padahal aku ingin bersama Suamiku, tapi karena keluarganya tidak menyukaiku hanya karena mereka cemburu padaku karena Suamiku sangat sayang padaku.
Kemudian aku memutuskan agar ia saja yg pergi dan kami juga harus berhemat dalam pengeluaran anggaran rumah tangga kami. Karena ini acara sakral bagi keluarganya, jadi seluruh keluarganya harus komplit. Walaupun begitu, aku pun tetap tak akan diperdulikan oleh keluarganya harus datang ataupun tidak. Tidak hadir justru membuat mereka sangat senang dan aku pun tak mau membuat riuh keluarga ini.

Malam sebelum kepergiannya, aku menangis sambil membereskan keperluan yang akan dibawanya ke Sabang, ia menatapku dan menghapus airmata yang jatuh dipipiku, lalu aku peluk erat dirinya. Hati ini bergumam tak merelakan dia pergi seakan terjadi sesuatu, tapi aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Aku hanya bisa menangis karena akan ditinggal pergi olehnya. Aku tidak pernah ditinggal pergi selama ini, karena kami selalu bersama-sama kemana pun ia pergi.

Apa mungkin aku sedih karena aku sendirian dan tidak memiliki teman, karena biasanya hanya pembantu sajalah teman mengobrolku. Hati ini sedih akan di tinggal pergi olehnya.
Sampai keesokan harinya, aku terus menangis.. menangisi kepergiannya. Aku tak tahu mengapa sesedih ini, perasaanku tak enak, tapi aku tak boleh berburuk sangka. Aku harus percaya apada suamiku. Dia pasti akan selalu menelponku.
***

Berjauhan dengan suamiku, aku merasa sangat tidak nyaman, aku merasa sendiri. Untunglah aku mempunyai kesibukan sebagai seorang aktivis, jadinya aku tak terlalu kesepian ditinggal pergi ke Sabang. Saat kami berhubungan jarak jauh, komunikasi kami memburuk dan aku pun jatuh sakit. Rahimku terasa sakit sekali seperti di lilit oleh tali. Tak tahan aku menahan rasa sakit dirahimku ini, sampai-sampai aku mengalami pendarahan. Aku dilarikan ke rumah sakit oleh adik laki-lakiku yang kebetulan menemaniku disana. Dokter memvonis aku terkena kanker mulut rahim stadium 3.

Aku menangis.. apa yang bisa aku banggakan lagi..
Mertuaku akan semakin menghinaku, suamiku yang malang yang selalu berharap akan punya keturunan dari rahimku.. namun aku tak bisa memberikannya keturunan. Dan kemudian aku hanya bisa memeluk adikku. Aku kangen pada suamiku, aku selalu menunggu ia pulang dan bertanya-tanya, “kapankah ia segera pulang?” aku tak tahu..

Sementara suamiku disana, aku tidak tahu mengapa ia selalu marah-marah jika menelponku. Bagaimana aku akan menceritakan kondisiku jika ia selalu marah-marah terhadapku.. Lebih baik aku tutupi dulu tentang hal ini dan aku juga tak mau membuatnya khawatir selama ia berada di Sabang.
Lebih baik nanti saja ketika ia sudah pulang dari Sabang, aku akan cerita padanya. Setiap hari aku menanti suamiku pulang, hari demi hari aku hitung… Sudah 3 minggu suamiku di Sabang, malam itu ketika aku sedang melihat foto-foto kami, ponselku berbunyi menandakan ada sms yang masuk.

Kubuka di inbox ponselku, ternyata dari suamiku yang sms.
Ia menulis, “aku sudah beli tiket untuk pulang, aku pulangnya satu hari lagi, aku akan kabarin lagi”.
Hanya itu saja yang diinfokannya. Aku ingin marah, tapi aku pendam saja ego yang tidak baik ini. Hari yg aku tunggu pun tiba, aku menantinya di rumah.

Sebagai seorang istri, aku pun berdandan yang cantik dan memakai parfum kesukaannya untuk menyambut suamiku pulang, dan nantinya aku juga akan menyelesaikan masalah komunikasi kami yg buruk akhir-akhir ini.

Bel pun berbunyi, kubukakan pintu untuknya dan ia pun mengucap salam. Sebelum masuk, aku pegang tangannya kedepan teras namun ia tetap berdiri, aku membungkuk untuk melepaskan sepatu, kaos kaki dan kucuci kedua kakinya, aku tak mau ada syaithan yang masuk ke dalam rumah kami.
Setelah itu akupun berdiri langsung mencium tangannya tapi apa reaksinya..

Masya Allah.. ia tidak mencium keningku, ia hanya diam dan langsung naik keruangan atas, kemudian mandi dan tidur tanpa bertanya kabarku.. Aku hanya berpikir, mungkin dia capek. Aku pun segera merapikan bawaan nya sampai aku pun tertidur. Malam menunjukkan 1/3 malam, mengingatkan aku pada tempat mengadu yaitu Allah, Sang Maha Pencipta.

Biasa nya kami selalu berjama’ah, tapi karena melihat nya tidur sangat pulas, aku tak tega membangunkannya. Aku hanya mengelus wajahnya dan aku cium keningnya, lalu aku sholat tahajud 8 rakaat plus witir 3 raka’at.
***

Aku mendengar suara mobilnya, aku terbangun lalu aku melihat dirinya dari balkon kamar kami yang bersiap-siap untuk pergi. Lalu aku memanggilnya tapi ia tak mendengar. Kemudian aku ambil jilbabku dan aku berlari dari atas ke bawah tanpa memperdulikan darah yg bercecer dari rahimku untuk mengejarnya tapi ia begitu cepat pergi.

Aku merasa ada yang aneh dengan suamiku. Ada apa dengan suamiku? Mengapa ia bersikap tidak biasa terhadapku? Aku tidak bisa diam begitu saja, firasatku mengatakan ada sesuatu. Saat itu juga aku langsung menelpon kerumah mertuaku dan kebetulan Dian yang mengangkat telponnya, aku bercerita dan aku bertanya apa yang sedang terjadi dengan suamiku. Dengan enteng ia menjawab, “Loe pikir aja sendiri!!!”. Telpon pun langsung terputus.

Ada apa ini? Tanya hatiku penuh dalam kecemasan. Mengapa suamiku berubah setelah ia kembali dari kota kelahirannya. Mengapa ia tak mau berbicara padaku, apalagi memanjakan aku.
Semakin hari ia menjadi orang yang pendiam, seakan ia telah melepas tanggung jawabnya sebagai seorang suami. Kami hanya berbicara seperlunya saja, aku selalu diintrogasinya. Selalu bertanya aku dari mana dan mengapa pulang terlambat dan ia bertanya dengan nada yg keras. Suamiku telah berubah..

Bahkan yang membuat ku kaget, aku pernah dituduhnya berzina dengan mantan pacarku. Ingin rasanya aku menampar suamiku yang telah menuduhku serendah itu, tapi aku selalu ingat.. sebagaimana pun salahnya seorang suami, status suami tetap di atas para istri, itu pedoman yang aku pegang. Aku hanya berdo’a semoga suamiku sadar akan prilakunya.

***
Dua tahun berlalu, suamiku tak kunjung berubah juga. Aku menangis setiap malam, lelah menanti seperti ini, kami seperti orang asing yang baru saja berkenalan. Kemesraan yang kami ciptakan dulu telah sirna. Walaupun kondisinya tetap seperti itu, aku tetap merawatnya & menyiakan segala yang ia perlukan. Penyakitkupun masih aku simpan dengan baik dan sekalipun ia tak pernah bertanya perihal obat apa yang aku minum. Kebahagiaan ku telah sirna, harapan menjadi ibu pun telah aku pendam. Aku tak tahu kapan ini semua akan berakhir.

Bersyukurlah.. aku punya penghasilan sendiri dari aktifitasku sebagai seorang guru ngaji, jadi aku tak perlu meminta uang padanya hanya untuk pengobatan kankerku. Aku pun hanya berobat semampuku.
Sungguh.. suami yang dulu aku puja dan aku banggakan, sekarang telah menjadi orang asing bagiku, setiap aku bertanya ia selalu menyuruhku untuk berpikir sendiri. Tiba-tiba saja malam itu setelah makan malam usai, suamiku memanggilku.

“Ya, ada apa Yah!” sahutku dengan memanggil nama kesayangannya “Ayah”.
“Lusa kita siap-siap ke Sabang ya.” Jawabnya tegas.
“Ada apa? Mengapa?”, sahutku penuh dengan keheranan.
Astaghfirullah.. suami ku yang dulu lembut tiba-tiba saja menjadi kasar, dia membentakku. Sehingga tak ada lagi kelanjutan diskusi antara kami.
Dia mengatakan ”Kau ikut saja jangan banyak tanya!!”
Lalu aku pun bersegera mengemasi barang-barang yang akan dibawa ke Sabang sambil menangis, sedih karena suamiku kini tak ku kenal lagi.

Lima tahun kami menikah dan sudah 2 tahun pula ia menjadi orang asing buatku. Ku lihat kamar kami yg dulu hangat penuh cinta yang dihiasi foto pernikahan kami, sekarang menjadi dingin.. sangat dingin dari batu es. Aku menangis dengan kebingungan ini. Ingin rasanya aku berontak berteriak, tapi aku tak bisa.
Suamiku tak suka dengan wanita yang kasar, ngomong dengan nada tinggi, suka membanting barang-barang. Dia bilang perbuatan itu menunjukkan sikap ketidakhormatan kepadanya. Aku hanya bisa bersabar menantinya bicara dan sabar mengobati penyakitku ini, dalam kesendirianku..
***

Kami telah sampai di Sabang, aku masih merasa lelah karena semalaman aku tidak tidur karena terus berpikir. Keluarga besarnya juga telah berkumpul disana, termasuk ibu & adik-adiknya. Aku tidak tahu ada acara apa ini.. Aku dan suamiku pun masuk ke kamar kami. Suamiku tak betah didalam kamar tua itu, ia pun langsung keluar bergabung dengan keluarga besarnya.

Baru saja aku membongkar koper kami dan ingin memasukkannya ke dalam lemari tua yg berada di dekat pintu kamar, lemari tua yang telah ada sebelum suamiku lahir, tiba-tiba Tante Lia, tante yang sangat baik padaku memanggil ku untuk bersegera berkumpul diruang tengah, aku pun menuju ke ruang keluarga yang berada ditengah rumah besar itu, yang tampak seperti rumah zaman peninggalan belanda.

Kemudian aku duduk disamping suamiku, dan suamiku menunduk penuh dengan kebisuan, aku tak berani bertanya padanya. Tiba-tiba saja neneknya, orang yang dianggap paling tua dan paling berhak atas semuanya, membuka pembicaraan. “Baiklah, karena kalian telah berkumpul, nenek ingin bicara dengan kau Fisha”. Neneknya berbicara sangat tegas, dengan sorot mata yang tajam.

”Ada apa ya Nek?” sahutku dengan penuh tanya..
Nenek pun menjawab, “Kau telah bergabung dengan keluarga kami hampir 8 tahun, sampai saat ini kami tak melihat tanda-tanda kehamilan yang sempurna sebab selama ini kau selalu keguguran!!“.
Aku menangis.. untuk inikah aku diundang kemari? Untuk dihina ataukah dipisahkan dengan suamiku?

“Sebenarnya kami sudah punya calon untuk Fikri, dari dulu.. sebelum kau menikah dengannya. Tapi Fikri anak yang keras kepala, tak mau di atur,dan akhirnya menikahlah ia dengan kau.” Neneknya berbicara sangat lantang, mungkin logat orang Sabang seperti itu semua.
Aku hanya bisa tersenyum dan melihat wajah suamiku yang kosong matanya.
“Dan aku dengar dari ibu mertuamu kau pun sudah berkenalan dengannya”, neneknya masih melanjutkan pembicaraan itu.

Sedangkan suamiku hanya terdiam saja, tapi aku lihat air matanya. Ingin aku peluk suamiku agar ia kuat dengan semua ini, tapi aku tak punya keberanian itu. Neneknya masih saja berbicara panjang lebar dan yang terakhir dari ucapannya dengan mimik wajah yang sangat menantang kemudian berkata, “kau maunya gimana? kau dimadu atau diceraikan?“

MasyaAllah.. kuatkan hati ini.. aku ingin jatuh pingsan. Hati ini seakan remuk mendengarnya, hancur hatiku. Mengapa keluarganya bersikap seperti ini terhadapku.. Aku selalu munutupi masalah ini dari kedua orang tuaku yang tinggal di pulau kayu, mereka mengira aku sangat bahagia 2 tahun belakangan ini.

“Fish, jawab!.” Dengan tegas Ibunya langsung memintaku untuk menjawab.
Aku langsung memegang tangan suamiku. Dengan tangan yang dingin dan gemetar aku menjawab dengan tegas. Walaupun aku tidak bisa berdiskusi dulu dengan imamku, tapi aku dapat berdiskusi dengannya melalui bathiniah. ‘’Untuk kebaikan dan masa depan keluarga ini, aku akan menyambut baik seorang wanita baru dirumah kami..”

Itu yang aku jawab, dengan kata lain aku rela cintaku dibagi. Dan pada saat itu juga suamiku memandangku dengan tetesan air mata, tapi air mataku tak sedikit pun menetes di hadapan mereka.
Aku lalu bertanya kepada suamiku, “Ayah siapakah yang akan menjadi sahabatku dirumah kita nanti, yah?” Suamiku menjawab, ”Dia Desi!”

Aku pun langsung menarik napas dan langsung berbicara, ”Kapan pernikahannya berlangsung? Apa yang harus saya siapkan dalam pernikahan ini Nek?.” Ayah mertuaku menjawab, “Pernikahannya 2 minggu lagi.” ”Baiklah kalo begitu saya akan menelpon pembantu di rumah, untuk menyuruhnya mengurus KK kami ke kelurahan besok”, setelah berbicara seperti itu aku permisi untuk pamit ke kamar.

Tak tahan lagi.. air mata ini akan turun, aku berjalan sangat cepat, aku buka pintu kamar dan aku langsung duduk di tempat tidur. Ingin berteriak, tapi aku sendiri disini. Tak kuat rasanya menerima hal ini, cintaku telah dibagi. Sakit. Diiringi akutnya penyakitku.. Apakah karena ini suamiku menjadi orang yang asing selama 2 tahun belakangan ini?

Aku berjalan menuju ke meja rias, kubuka jilbabku, aku bercermin sambil bertanya-tanya, “sudah tidak cantikkah aku ini?“ Ku ambil sisirku, aku menyisiri rambutku yang setiap hari rontok. Kulihat wajahku, ternyata aku memang sudah tidak cantik lagi, rambutku sudah hampir habis.. kepalaku sudah botak dibagian tengahnya.

Tiba-tiba pintu kamar ini terbuka, ternyata suamiku yang datang, ia berdiri dibelakangku. Tak kuhapus air mata ini, aku bersegera memandangnya dari cermin meja rias itu. Kami diam sejenak, lalu aku mulai pembicaraan, “terima kasih ayah, kamu memberi sahabat kepada ku. Jadi aku tak perlu sedih lagi saat ditinggal pergi kamu nanti! Iya kan?.”

Suamiku mengangguk sambil melihat kepalaku tapi tak sedikitpun ia tersenyum dan bertanya kenapa rambutku rontok, dia hanya mengatakan jangan salah memakai shampo. Dalam hatiku bertanya, “mengapa ia sangat cuek?” dan ia sudah tak memanjakanku lagi. Lalu dia berkata, “sudah malam, kita istirahat yuk!“ “Aku sholat isya dulu baru aku tidur”, jawabku tenang.

Dalam sholat dan dalam tidur aku menangis. Ku hitung mundur waktu, kapan aku akan berbagi suami dengannya. Aku pun ikut sibuk mengurusi pernikahan suamiku. Aku tak tahu kalau Desi orang Sabang juga. Sudahlah, ini mungkin takdirku. Aku ingin suamiku kembali seperti dulu, yang sangat memanjakan aku atas rasa sayang dan cintanya itu..
***

Malam sebelum hari pernikahan suamiku, aku menulis curahan hatiku di laptopku.
Di laptop aku menulis saat-saat terakhirku melihat suamiku, aku marah pada suamiku yang telah menelantarkanku. Aku menangis melihat suamiku yang sedang tidur pulas, apa salahku? sampai ia berlaku sekejam itu kepadaku. Aku save di mydocument yang bertitle “Aku Mencintaimu Suamiku.”

Hari pernikahan telah tiba, aku telah siap, tapi aku tak sanggup untuk keluar. Aku berdiri didekat jendela, aku melihat matahari, karena mungkin saja aku takkan bisa melihat sinarnya lagi. Aku berdiri sangat lama.. lalu suamiku yang telah siap dengan pakaian pengantinnya masuk dan berbicara padaku.
“Apakah kamu sudah siap?” Kuhapus airmata yang menetes diwajahku sambil berkata :

“Nanti jika ia telah sah jadi istrimu, ketika kamu membawa ia masuk kedalam rumah ini, cucilah kakinya sebagaimana kamu mencuci kakiku dulu, lalu ketika kalian masuk ke dalam kamar pengantin bacakan do’a di ubun-ubunnya sebagaimana yang kamu lakukan padaku dulu. Lalu setelah itu..”, perkataanku terhenti karena tak sanggup aku meneruskan pembicaraan itu, aku ingin menagis meledak.
Tiba-tiba suamiku menjawab “Lalu apa Bunda?” Aku kaget mendengar kata itu, yang tadinya aku menunduk seketika aku langsung menatapnya dengan mata yang berbinar-binar…
“Bisa kamu ulangi apa yang kamu ucapkan barusan?”, pintaku tuk menyakini bahwa kuping ini tidak salah mendengar.

Dia mengangguk dan berkata, ”Baik bunda akan ayah ulangi, lalu apa bunda?”, sambil ia mengelus wajah dan menghapus airmataku, dia agak sedikit membungkuk karena dia sangat tinggi, aku hanya sedadanya saja. Dia tersenyum sambil berkata, ”Kita lihat saja nanti ya!”. Dia memelukku dan berkata, “bunda adalah wanita yang paling kuat yang ayah temui selain mama”..

Kemudian ia mencium keningku, aku langsung memeluknya erat dan berkata, “Ayah, apakah ini akan segera berakhir? Ayah kemana saja? Mengapa Ayah berubah? Aku kangen sama Ayah? Aku kangen belaian kasih sayang Ayah? Aku kangen dengan manjanya Ayah? Aku kesepian Ayah? Dan satu hal lagi yang harus Ayah tau, bahwa aku tidak pernah berzinah! Dulu.. waktu awal kita pacaran, aku memang belum bisa melupakannya, setelah 4 bulan bersama Ayah baru bisa aku terima, jika yang dihadapanku itu adalah lelaki yang aku cari. Bukan berarti aku pernah berzina Ayah.” Aku langsung bersujud di kakinya dan muncium kaki imamku sambil berkata, ”Aku minta maaf Ayah, telah membuatmu susah”.

Saat itu juga, diangkatnya badanku.. ia hanya menangis.
Ia memelukku sangat lama, 2 tahun aku menanti dirinya kembali. Tiba-tiba perutku sakit, ia menyadari bahwa ada yang tidak beres denganku dan ia bertanya, ”bunda baik-baik saja kan?” tanyanya dengan penuh khawatir. Aku pun menjawab, “bisa memeluk dan melihat kamu kembali seperti dulu itu sudah mebuatku baik, Yah. Aku hanya tak bisa bicara sekarang“. Karena dia akan menikah. Aku tak mau membuat dia khawatir. Dia harus khusyu menjalani acara prosesi akad nikah tersebut.
***
Setelah tiba dimasjid, ijab-qabul pun dimulai. Aku duduk diseberang suamiku. Aku melihat suamiku duduk berdampingan dengan perempuan itu, membuat hati ini cemburu, ingin berteriak mengatakan, “Ayah jangan!!”, tapi aku ingat akan kondisiku.

Jantung ini berdebar kencang saat mendengar ijab-qabul tersebut. Begitu ijab-qabul selesai, aku menarik napas panjang. Tante Lia, tante yang baik itu, memelukku.. Dalam hati aku berusaha untuk menguatkan hati ini. Ya… aku kuat. Tak sanggup aku melihat mereka duduk bersanding dipelaminan. Orang-orang yang hadir di acara resepsi itu iba melihatku, mereka melihatku dengan tatapan sangat aneh, mungkin melihat wajahku yang selalu tersenyum, tapi dibalik itu.. hatiku menangis.

Sampai dirumah, suamiku langsung masuk ke dalam rumah begitu saja. Tak mencuci kakinya. Aku sangat heran dengan perilakunya. Apa iya, dia tidak suka dengan pernikahan ini? Sementara itu Desi disambut hangat di dalam keluarga suamiku, tak seperti aku dahulu, yang di musuhi. Malam ini aku tak bisa tidur, bagaimana bisa? Suamiku akan tidur dengan perempuan yang sangat aku cemburui. Aku tak tahu apa yang sedang mereka lakukan didalam sana.

Sepertiga malam pada saat aku ingin sholat lail aku keluar untuk berwudhu, lalu aku melihat ada lelaki yang mirip suamiku tidur disofa ruang tengah. Kudekati lalu kulihat. Masya Allah.. suamiku tak tidur dengan wanita itu, ia ternyata tidur disofa, aku duduk disofa itu sambil menghelus wajahnya yang lelah, tiba-tiba ia memegang tangan kiriku, tentu saja aku kaget.

“Kamu datang ke sini, aku pun tahu”, ia berkata seperti itu. Aku tersenyum dan megajaknya sholat lail. Setelah sholat lail ia berkata, “maafkan aku, aku tak boleh menyakitimu, kamu menderita karena ego nya aku. Besok kita pulang ke Jakarta, biar Desi pulang dengan mama, papa dan juga adik-adikku”

Aku menatapnya dengan penuh keheranan. Tapi ia langsung mengajakku untuk istirahat. Saat tidur ia memelukku sangat erat. Aku tersenyum saja, sudah lama ini tidak terjadi. Ya Allah.. apakah Engkau akan menyuruh malaikat maut untuk mengambil nyawaku sekarang ini, karena aku telah merasakan kehadirannya saat ini. Tapi.. masih bisakah engkau ijinkan aku untuk merasakan kehangatan dari suamiku yang telah hilang selama 2 tahun ini.. Suamiku berbisik, “Bunda kok kurus?”
Aku menangis dalam kebisuan. Pelukannya masih bisa aku rasakan. Aku pun berkata, “Ayah kenapa tidak tidur dengan Desi?”

”Aku kangen sama kamu Bunda, aku tak mau menyakitimu lagi. Kamu sudah sering terluka oleh sikapku yang egois.” Dengan lembut suamiku menjawab seperti itu. Lalu suamiku berkata, ”Bun, Ayah minta maaf telah menelantarkan bunda.. Selama ayah di Sabang, ayah dengar kalau bunda tidak tulus mencintai ayah, bunda seperti mengejar sesuatu, seperti mengejar harta ayah dan satu lagi.. ayah pernah melihat sms bunda dengan mantan pacar bunda dimana isinya kalau bunda gak mau berbuat “seperti itu” dan tulisan seperti itu diberi tanda kutip (“seperti itu”). Ayah ingin ngomong tapi takut bunda tersinggung dan ayah berpikir kalau bunda pernah tidur dengannya sebelum bunda bertemu ayah, terus ayah dimarahi oleh keluarga ayah karena ayah terlalu memanjakan bunda..”

Hati ini sakit ketika difitnah oleh suamiku, ketika tidak ada kepercayaan di dirinya, hanya karena omongan keluarganya yang tidak pernah melihat betapa tulusnya aku mencintai pasangan seumur hidupku ini. Aku hanya menjawab, “Aku sudah ceritakan itu kan Yah.. Aku tidak pernah berzinah dan aku mencintaimu setulus hatiku, jika aku hanya mengejar hartamu, mengapa aku memilih kamu? Padahal banyak lelaki yang lebih mapan darimu waktu itu Yah.. Jika aku hanya mengejar hartamu, aku tak mungkin setiap hari menangis karena menderita mencintaimu..“

Entah aku harus bahagia atau aku harus sedih karena sahabatku sendirian dikamar pengantin itu. Malam itu, aku menyelesaikan masalahku dengan suamiku dan berusaha memaafkannya beserta sikap keluarganya juga. Karena aku tak mau mati dalam hati yang penuh dengan rasa benci.
***
Keesokan harinya…
Ketika aku ingin terbangun untuk mengambil wudhu, kepalaku pusing, rahimku sakit sekali.. aku mengalami pendarahan dan suamiku kaget bukan main, ia langsung menggendongku.
Aku pun dilarikan ke rumah sakit.. Dari kejauhan aku mendengar suara zikir suamiku..
Aku merasakan tanganku basah.. Ketika kubuka mata ini, kulihat wajah suamiku penuh dengan rasa kekhawatiran.

Ia menggenggam tanganku dengan erat.. Dan mengatakan, ”Bunda, Ayah minta maaf…” Berkali-kali ia mengucapkan hal itu. Dalam hatiku, apa ia tahu apa yang terjadi padaku? Aku berkata dengan suara yang lirih, ”Yah, bunda ingin pulang.. bunda ingin bertemu kedua orang tua bunda, anterin bunda kesana ya, Yah..” “Ayah jangan berubah lagi ya! Janji ya, Yah… !!! Bunda sayang banget sama Ayah.”

Tiba-tiba saja kakiku sakit sangat sakit, sakitnya semakin keatas, kakiku sudah tak bisa bergerak lagi.. aku tak kuat lagi memegang tangan suamiku. Kulihat wajahnya yang tampan, berlinang air mata.
Sebelum mata ini tertutup, kulafazkan kalimat syahadat dan ditutup dengan kalimat tahlil. Aku bahagia melihat suamiku punya pengganti diriku.. Aku bahagia selalu melayaninya dalam suka dan duka..

Menemaninya dalam ketika ia mengalami kesulitan dari kami pacaran sampai kami menikah.
Aku bahagia bersuamikan dia. Dia adalah nafasku. Untuk Ibu mertuaku : “Maafkan aku telah hadir didalam kehidupan anakmu sampai aku hidup didalam hati anakmu. Ketahuilah Ma.. dari dulu aku selalu berdo’a agar Mama merestui hubungan kami. Mengapa engkau fitnah diriku didepan suamiku, apa engkau punya buktinya Ma? Mengapa engkau sangat cemburu padaku Ma? Fikri tetap milikmu Ma, aku tak pernah menyuruhnya untuk durhaka kepadamu, dari dulu aku selalu mengerti apa yang kamu inginkan dari anakmu, tapi mengapa kau benci diriku.. Dengan Desi kau sangat baik tetapi denganku menantumu kau bersikap sebaliknya..”
***
Setelah ku buka laptop, kubaca curhatan istriku.

===========================

Ayah, mengapa keluargamu sangat membenciku? Aku dihina oleh mereka ayah.. Mengapa mereka bisa baik terhadapku pada saat ada dirimu? Pernah suatu ketika aku bertemu Dian di jalan, aku menegurnya karena dia adik iparku tapi aku disambut dengan wajah ketidaksukaannya. Sangat terlihat Ayah..

Tapi ketika engkau bersamaku, Dian sangat baik, sangat manis dan ia memanggilku dengan panggilan yang sangat menghormatiku. Mengapa seperti itu ayah ? Aku tak bisa berbicara tentang ini padamu, karena aku tahu kamu pasti membela adikmu, tak ada gunanya Yah.. Aku diusir dari rumah sakit.
Aku tak boleh merawat suamiku. Aku cemburu pada Desi yang sangat akrab dengan mertuaku.
Tiap hari ia datang ke rumah sakit bersama mertuaku. Aku sangat marah..

Jika aku membicarakan hal ini pada suamiku, ia akan pasti membela Desi dan ibunya.. Aku tak mau sakit hati lagi.. Ya Allah kuatkan aku, maafkan aku.. Engkau Maha Adil.. Berilah keadilan ini padaku, Ya Allah..
Ayah sudah berubah, ayah sudah tak sayang lagi pada ku.. Aku berusaha untuk mandiri ayah, aku tak akan bermanja-manja lagi padamu.. Aku kuat ayah dalam kesakitan ini..

Lihatlah ayah, aku kuat walaupun penyakit kanker ini terus menyerangku.. Aku bisa melakukan ini semua sendiri ayah.. Besok suamiku akan menikah dengan perempuan itu. Perempuan yang aku benci, yang aku cemburui, tapi aku tak boleh egois, ini untuk kebahagian keluarga suamiku. Aku harus sadar diri. Ayah sebenarnya aku tak mau diduakan olehmu.. Mengapa harus Desi yang menjadi sahabatku?
Ayah.. aku masih tak rela.. Tapi aku harus ikhlas menerimanya.

Pagi nanti suamiku melangsungkan pernikahan keduanya. Semoga saja aku masih punya waktu untuk melihatnya tersenyum untukku. Aku ingin sekali merasakan kasih sayangnya yang terakhir. Sebelum ajal ini menjemputku. ”Ayah.. aku kangen Ayah..”

*****
’’Dan kini aku telah membawamu ke orang tuamu, Bunda.. Aku akan mengunjungimu sebulan sekali bersama Desi di Pulau Kayu ini. Aku akan selalu membawakanmu bunga mawar yang berwana pink yang mencerminkan keceriaan hatimu yang sakit tertusuk duri.’’ Bunda tetap cantik, selalu tersenyum disaat tidur.. Bunda akan selalu hidup dihati ayah.. Bunda.. Desi tak sepertimu, yang tidak pernah marah..

Desi sangat berbeda denganmu, ia tak pernah membersihkan telingaku, rambutku tak pernah di creambathnya, kakiku pun tak pernah dicucinya. Ayah menyesal telah menelantarkanmu selama 2 tahun, kamu sakit pun aku tak perduli, hidup dalam kesendirianmu.. Seandainya Ayah tak menelantarkan Bunda, mungkin Ayah masih bisa tidur dengan belaian tangan Bunda yang halus..

Sekarang Ayah sadar, bahwa ayah sangat membutuhkan bunda.. Bunda.. kamu wanita yang paling tegar yang pernah kutemui.. Aku menyesal telah asik dalam ke-egoanku.. Bunda.. maafkan aku.. Bunda tidur tetap manis. Senyum manjamu terlihat di tidurmu yang panjang..

’’Maafkan aku, tak bisa bersikap adil dan membahagiakanmu, aku selalu meng-iyakan apa kata ibuku, karena aku takut menjadi anak durhaka. Maafkan aku ketika kau di fitnah oleh keluargaku, aku percaya begitu saja.. Apakah Bunda akan mendapat pengganti ayah di surga sana? Apakah Bunda tetap menanti ayah disana? Tetap setia dialam sana? Tunggulah Ayah disana Bunda.. Bisakan? Seperti Bunda menunggu ayah di sini.. Aku mohon..

’’Ayah Sayang Bunda….’’

*catatan temanku*

Minggu, 19 Desember 2010

Renungan Hati

Setelah sholat malam…, ditengah keheningan malam…coba diri ini merenung…tentang :

1.Kepala kita! Apakah ia sudah kita tundukkan, rukukkan dan sujudkan dengan segenap kepasrahan seorang hamba yang tiada daya di hadapan Allah Yang Maha Perkasa, atau ia tetap tengadah dengan segenap keangkuhan, kecongkakan dan kesombongan seorang manusia?

2. Mata kita! Apakah ia sudah kita gunakan untuk menatap keindahan dan keagungan ciptaan-ciptaan Allah Yang Maha Kuasa, atau kita gunakan untuk melihat segala pemandangan dan kemaksiatan yang dilarang?

3. Telinga Kita! Apakah ia sudah kita gunakan untuk mendengarkan suara adzan, bacaan Al Qur’an, seruan kebaikan, atau kita gunakan utk mendengarkan suara-suara yang sia-sia tiada bermakna?

4. Hidung Kita! Apakah sudah kita gunakan untuk mencium sajadah yang terhampar di tempat sholat, mencium anak-anak tercinta serta mencium kepala anak-anak yatim piatu yang sangat kehilangan kedua orangtuanya dan sangat mendambakan cinta bunda dan ayahnya?

5. Mulut kita! Apakah sudah kita gunakan untuk mengatakan kebenaran dan kebaikan, nasehat-nasehat bermanfaat serta kata-kata bermakna atau kita gunakan untuk mengatakan kata-kata tak berguna dan berbisa, mengeluarkan tahafaul lisan alias penyakit lisan seperti: bergibah, memfitnah, mengadu domba, berdusta bahkan menyakiti hati sesama?

6. Tangan Kita! Apakah sudah kita gunakan utk bersedekah kepada dhuafa, membantu sesama yang kena musibah, membantu sesama yang butuh bantuan, mencipta karya yang berguna bagi ummat atau kita gunakan untuk mencuri, korupsi, menzalimi orang lain serta merampas hak-hak serta harta orang yang tak berdaya?

7. Kaki Kita! Apakah sudah kita gunakan untuk melangkah ke tempat ibadah, ke tempat menuntut ilmu bermanfaat, ke tempat-tempat pengajian yang kian mendekatkan perasaan kepada Allah Yang Maha Penyayang atau kita gunakan untuk melangkah ke tempat maksiat dan kejahatan?

8. Dada Kita! Apakah didalamnya tersimpan perasaan yang lapang, sabar, tawakal dan keikhlasan serta perasaan selalu bersyukur kepada Allah Yang Maha Bijaksana, atau di dalamnya tertanam ladang jiwa yang tumbuh subur daun-daun takabur, biji-biji bakhil, benih iri hati dan dengki serta pepohonan berbuah riya?

9. Perut kita! Apakah didalamnya diisi oleh makanan halal dan makanan yang diperoleh dengan cara yang halal sehingga semua terasa nikmat dan barokah. Atau didalamnya diisi oleh makanan yang diperoleh dengan cara yang tidak halal, dengan segala ketamakan dan kerakusan kita? 

10. Diri kita! Apakah kita sering tafakur, tadabur, dan selalu bersyukur atas karunia yang kita terima dari Allah Yang Maha Perkasa?

(Dari berbagai sumber, dgn sedikit 'editing' tanpa mengubah makna aslinya)

Minggu, 12 Desember 2010

Pesan Cinta Ibu pada Anaknya

wahai sahabat ku semua yg selalu dalam ridha Allah, renungkanlah sedikit cinta ibu yg terlintas di memori ingatan mu..sebagai mana cinta ibu kepada kalian.

“Dulu, ketika aku menikah, tidak pernah berpikir punya anak seperti apa, gimana jaganya, biayainya sekolah hingga lulus kuliah nanti… tapi kujalankan saja…

Ketika melahirkan dirinya, hampir diriku menyerah, tapi demi melihatnya lahir ke dunia ini, tumbuh besar dan menjadi anak yang berguna, aku terus berjuang, walaupun harus berkorban diri ini demi kehadiran dirinya di dunia ini…

Dia telah lahir ke dunia ini, pertama kali melihatnya, ada perasaan bergejolak di diriku, aku terharu dan bangga sekali bisa membawanya ke dunia ini, aku berjanji, apapun yang terjadi, gimanapun susahnya hidup ini, anak ini harus kubesarkan dengan kedua tanganku…

Tidak mudah untuk membesarkan dirinya, dia bandel sekali ketika kecil, suka bermain lupa waktu, berteman dengan anak-anak nakal, tidak mau makan, susah disuruh mandi, susah dibujuk tidur waktu malam hari, kadang dia marah dan bentak padaku, kadang dia mengejekku, kadang juga dia menghinaku…

Ketika besar, dia merasa diriku terlalu membatasi dirinya, ini tidak boleh, itu tidak boleh, dia juga merasa aku terlalu kolot, ketinggalan jaman, tidak mengerti apa maunya, tidak setuju terhadap setiap kelakuannya…

Kadang sakit hati sekali diriku ini, tapi ingat ketika pertama kali menggendongnya, ketika melahirkannya, semua sakit ini hilang seketika… dia adalah anakku, anak kesayanganku…

Aku telah berjanji akan membesar dirinya, apapun yang terjadi, rintangan apapun yang kuhadapi, karena dia anakku… Harapanku besar kelak dia bisa menjadi anak yang berguna… Aku cinta padamu, anakku…

Karena kau lah, yang memberikan kekuatan pada diriku, membuatku mau bekerja keras pagi-siang-sore-malam, tidak takut akan sakit, derita.. Karena kehadiran dirimu lah membuat diriku ada artinya, bisa membesarkan dirimu dan mendengarkanmu memanggilku IBU, sungguh senang rasanya hati ini…

Aku tidak berharap banyak, hanya suatu saat, ketika dirimu sudah besar, kamu dapat menjadi anak yang baik, bisa hidup yang enak. Ibu mungkin sudah tua, tidak bisa hidup lama lagi, badanku ini sekarat, kerutan muka sudah banyak, perjalananku tidak lama lagi.

Anakku, jika kamu bekerja keras, tidak perlu sampai memberikan rumah yang bagus, uang yang banyak, semuanya itu untuk dirimu saja. Ibu hanya berharap kamu mau menyisihkan sedikit waktumu untuk menemani masa-masa tua ibu, bisa disamping ibu dan ngobrol dengan ibu, itu sudah lebih dari cukup…

Ibu Bangga denganmu, nak, mungkin tidak pernah terucap lewat kata, tapi ini ibu rasakan dari lubuk hati yang dalam… Maafkan jika selama ini ibu pernah marah denganmu, memukulimu, melarangmu ini itu, semua ini demi kebaikanmu, nak…

Ibu Cinta padamu… dari dulu, sekarang, dan selamanya…”

Sabtu, 04 Desember 2010

Dalil-dalil yang mendasari kafa'ah syarifah & Sayyid

Pada dasarnya ayat-ayat Alquran yang menyebutkan keutamaan dan kemuliaan ahlul bait secara umum merupakan dalil yang mendasari pelaksanaan kafa'ah dalam perkawinan syarifah. Begitu juga ayat yang terdapat dalam alquran surat al-An'am ayat 87, berbunyi:وَمِنْ ءَابَائِهِمْ وَذُرِّيَتِهِمْ وَإِخْوَانِهِمْ..."(dan kami lebihkan pula derajat) sebahagian dari bapak-bapak mereka, keturunan mereka dan saudara-saudara mereka …"

ayat di atas jelas memberitahukan kepada kita bahwa antara keturunan para nabi (khususnya keturunan nabi Muhammad saw) dengan keturunan lainnya terdapat perbedaan derajat keutamaan dan kemuliaan, hal ini didasari oleh sabda Rasulullah saw:نحن اهل البيت لا نقاس بنا

"Kami Ahlul Bait tidaklah bisa dibandingkan dengan siapapun.", begitu pula dengan perkataan Imam Ali bin Abi Thalib dalam kitab 'Nahjul Balaghoh', bahwa: "Tiada seorang pun dari umat ini dapat dibandingkan dengan keluarga (aal) Muhammad saw". Tentang keluarga Nabi, Imam Ali mengatakan bahwa tiada orang di dunia ini yang setaraf (sekufu') dengan mereka, tiada pula orang yang dapat dianggap sama dengan mereka dalam hal kemuliaan.

Turmudzi meriwayatkan sebuah hadits berasal dari Abbas bin Abdul Mutthalib, ketika Rasulullah ditanya tentang kemuliaan silsilah mereka, beliau menjawab:

"Allah menciptakan manusia dan telah menciptakan diriku yang berasal dari jenis kelompok manusia terbaik. Kemudian Allah menciptakan kabilah-kabilah terbaik, dan menjadikan diriku dari kabilah yang terbaik. Lalu Allah menciptakan keluarga-keluarga terbaik dan menjadikan diriku dari keluarga yang paling baik. Akulah orang yang terbaik di kalangan mereka, baik dari segi pribadi maupun dari segi silsilah."

Baihaqi, Abu Nu'aim dan Tabrani meriwayatkan dari Aisyah, Disebutkan bahwa Jibril as pernah berkata:قلبت مشارق الأرض و مغاربها فلم أجد رجلا افضل من محمد , وقلبت مشارق الأرض و مغاربها فلم أجد بنى أب افضل من بنى هاشم"Aku membolak balikkan bumi, antara Timur dan Barat, tetapi aku tidak menemukan seseorang yang lebih utama daripada Muhammad saw dan akupun tidak melihat keturunan yang lebih utama daripada keturunan Bani Hasyim."

Dalam Alquran disebutkan bahwa manusia yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa. Sebagai contoh para sahabat nabi, mereka adalah orang-orang yang mulia walaupun mereka bukan dari kalangan ahlul bait. Memang benar, bahwa mereka semuanya sama-sama bertaqwa, taat dan setia kepada Allah dan Rasul-Nya. Persamaan keutamaan itu disebabkan oleh amal kebajikannya masing-masing. Akan tetapi ada keutamaan yang tidak mungkin dimiliki oleh para sahabat nabi yang bukan ahlul bait. Sebab para anggota ahlul bait secara kodrati dan menurut fitrahnya telah mempunyai keutamaan karena hubungan darah dan keturunan dengan manusia pilihan Allah yaitu junjungan kita Nabi Muhammad saw. Hubungan biologis itu merupakan kenyataan yang tidak dapat disangkal dan tidak mungkin dapat diimbangi oleh orang lain. Lebih-lebih lagi setelah turunnya firman Allah swt dalam surah Al-Ahzab ayat 33 dan wasiat Rasulullah saw berupa hadits Tsaqalain, di samping itu beliau sendiri telah menegaskan:ياايهاالناس ان الفضل و الشرف و المنزلة و الولاية لرسول الله وذرّيته , فلا تذهبنّ الأباطيل"Hai manusia bahwasanya keutamaan, kemuliaan, kedudukan dan kepemimpinan ada pada Rasulullah dan keturunannya. Janganlah kalian diseret oleh kebatilan."

Walaupun para ahlil bait Rasulullah menurut dzatnya telah mempunyai keutamaan, namun Rasulullah tetap memberi dorongan kepada mereka supaya memperbesar ketaqwaan kepada Allah swt, jangan sampai mereka mengandalkan begitu saja hubungannya dengan beliau. Karena hubungan suci dan mulia itu saja tanpa disertai amal saleh tidak akan membawa mereka kepada martabat yang setinggi-tingginya di sisi Allah.

Dengan keutamaan dzatiyah dan keutamaan amaliyah, para ahlul bait dan keturunan Rasul memiliki keutamaan ganda, keutamaan yang tidak dimiliki oleh orang lain. Keutamaan ganda itulah (khususnya keutamaan dzatiyah) yang mendasari pelaksanaan kafa'ah di kalangan keturunan Rasullulah.

Sebelum kita membahas lebih lanjut mengenai kafa'ah syarifah, marilah kita perhatikan hadits yang menceritakan tentang adanya kafa'ah di kalangan wanita Arab. Telah diceritakan dalam kitab syarah al-Wasith: bahwa Umar bin Khattab akan menikahkan anak perempuannya kepada Salman al-Farisi, kemudian berita tersebut sampai kepada Amr bin Ash, dan beliau berkata kepada Salman: Saya lebih setara (sekufu') dari pada engkau. Maka Salman berkata: Bergembiralah engkau. Dan selanjutnya dengan sikap tawadhu' Salman berkata: Demi Allah, saya tidak akan menikah dengan dia selamanya. Keputusan yang diambil oleh Salman berdasarkan hadits Rasulullah saw:من سلمان , نهانا رسول الله صلى الله عليه وسلم أن نتقدّم امامكم او ننكح نساءكم"Dari Salman, sesungguhnya Rasulullah telah melarang kami untuk memimpin (mengimami) kamu atau menikahi wanita-wanita kamu."

Dari hadits tersebut jelaslah bahwa di kalangan wanita Arab telah ada kafa'ah nasab dalam perkawinan. Hal tersebut dibuktikan oleh penolakan Salman al-Farisi yang berasal dari Persi ketika hendak dinikahkan dengan wanita Arab. Jika dalam pernikahan wanita Arab dengan lelaki non Arab saja telah ada kafa'ah, apalagi halnya dengan kafa'ah dalam pernikahan antara syarifah dimana mereka adalah wanita Arab yang mempunyai kemuliaan dan keutamaan. Kemuliaan dan keutamaan yang didapatkan tersebut dikarenakan mereka adalah keturunan Rasulullah saw. Hadits tersebut sekaligus juga merupakan jawaban yang mengeliminir perkataan Imam Ali yang berbunyi: Mu'min kufu' antara sesama mu'min, Arab dengan Ajam, Quraisy dan Bani Hasyim bila mereka telah Islam dan beriman."Sedangkan hadits Rasulullah yang memberikan dasar pelaksanaan kafa'ah syarifah adalah hadits tentang peristiwa pernikahan Siti Fathimah dengan Ali bin Abi Thalib, sebagaimana kita telah ketahui bahwa mereka berdua adalah manusia suci yang telah dinikahkan Rasulullah saw berdasarkan wahyu Allah swt. Hadits tersebut berbunyi:انما انا بشر مثلكم اتزوج فيكم وازوجكم الا فاطمة , فان تزويجها نزل من السماء , ونظر رسول الله صلىالله عليه وسلم الى اولاد على وجعفر فقال بناتنا لبنينا و بنونا لبناتنا"Sesungguhnya aku hanya seorang manusia biasa yang kawin dengan kalian dan mengawinkan anak-anakku kepada kalian, kecuali perkawinan anakku Fathimah. Sesungguhnya perkawinan Fathimah adalah perintah yang diturunkan dari langit (telah ditentukan oleh Allah swt). Kemudian Rasulullah memandang kepada anak-anak Ali dan anak-anak Ja'far, dan beliau berkata: "Anak-anak perempuan kami hanya menikah dengan anak-anak laki kami, dan anak-anak laki kami hanya menikah dengan anak-anak perempuan kami".

Menurut hadits di atas dapat kita ketahui bahwa: Anak-anak perempuan kami (syarifah) menikah dengan anak-anak laki kami (sayid/syarif), begitu pula sebaliknya anak-anak laki kami (sayid/syarif) menikah dengan anak-anak perempuan kami (syarifah). Berdasarkan hadits ini jelaslah bahwa pelaksanaan kafa'ah yang dilakukan oleh para keluarga Alawiyin didasari oleh perbuatan Rasul, yang dicontohkannya dalam menikahkan anak puterinya Fathimah dengan Ali bin Abi Thalib. Hal itu pula yang mendasari para keluarga Alawiyin menjaga anak puterinya untuk tetap menikah dengan laki-laki yang sekufu sampai saat ini. Di zaman Syekh Umar Muhdhar bin Abdurahman al-Saqqaf, oleh para keluarga Alawiyin beliau diangkat menjadi 'Naqib al-Alawiyin' yang salah satu tugas khususnya adalah menjaga agar keluarga Alawiyin menikahkan putrinya dengan lelaki yang sekufu'. Mustahil jika ulama Alawiyin seperti Muhammad bin Ali al-Faqih al-Muqaddam, Syekh Abdurahman al-Saqqaf, Syekh Umar Muhdhar, Syekh Abu Bakar Sakran, Syekh Abdullah Alaydrus, Syekh Ali bin Abi Bakar Sakran dan lainnya, melaksanakan pernikahan yang sekufu' antara syarifah dengan sayid hanya berdasarkan dan mengutamakan adat semata-mata dengan meninggalkan ajaran datuknya Rasulullah saw sebagai uswatun hasanah bagi umat, padahal mereka bukan saja mengetahui hal-hal yang zhohir tapi juga mengetahui hal-hal bathin yang didapat karena kedekatan mereka dengan Allah swt.

Para ulama Alawiyin mempunyai sifat talazum (tidak menyimpang) dari alquran dan seruannya, mereka tidak akan berpisah meninggalkan alquran sampai hari kiamat sebagaimana hadits menyebutkan mereka sebagai padanan alquran, dan mereka juga sebagai bahtera penyelamat serta sebagai pintu pengampunan. Rasulullah mensifatkan mereka ibarat bingkai yang menyatukan umat ini. Berpegang pada mereka dan berjalan di atas jalan mereka adalah jaminan keselamatan dan tidak adanya perpecahan serta perselisihan, sebagaimana hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas:

"Bintang-bintang adalah sebagai pengaman bagi penduduk bumi dari tenggelam (di lautan) dan ahlil baitku sebagai pengaman bagi penduduk bumi dari perselisihan."

Tidaklah alquran memperkenalkan mereka kepada umat, melainkan agar umat itu memahami kedudukan mereka (dalam Islam) serta agar umat mengikuti dan menjadikan mereka rujukan dalam memahami syariah, mengambil hukum-hukumnya dari mereka. Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad dalam syairnya menulis:

Ahlul Bait Musthofa, mereka adalah orang-orang suciMereka pemberi keamanan di muka bumiMereka ibarat bintang-bintang yang bercahayaDemikianlah sunnatullah yang telah ditentukan

Mereka ibarat bahtera penyelamatdari segala topan (bahaya) yang menyusahkanMaka menyelamatkan dirilah kepadanyaDan berpegang teguhlah kepada Allah swtserta memohon pertolongan-Nya

Wahai Tuhanku, jadikanlah kami orang yang berguna atas berkah merekaTunjukkanlah kepada kami kebaikan dengan kehormatan merekaCabutlah nyawa kami di atas jalan merekaDan selamatkanlah kami dari berbagai macam fitnah.

Mengapa para ulama Alawiyin mewajibkan pernikahan tersebut?, hal itu bertujuan agar kemuliaan dan keutamaan mereka sebagai keturunan Rasulullah saw yang telah ditetapkan dalam alquran dan hadits Nabi saw, tetap berada pada diri mereka. Sebaliknya, jika telah terjadi pernikahan antara syarifah dengan lelaki yang bukan sayid, maka anak keturunan selanjutnya adalah bukan sayid, hal itu disebabkan karena anak mengikuti garis ayahnya, implikasinya keutamaan serta kemuliaan yang khusus dikarunia oleh Allah swt untuk ahlul bait dan keturunannya tidak dapat disandang oleh anak cucu keturunan seorang syarifah yang menikah dengan lelaki yang bukan sayid.

Hadits-hadits lain yang menjadi dasar pelaksanaan kafa'ah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani, Al-Hakim dan Rafi'i:

"…maka mereka itu keturunanku diciptakan (oleh Allah) dari darah dagingku dan dikaruniai pengertian serta pengetahuannku. Celakalah (neraka wail) bagi orang dari ummatku yang mendustakan keutamaan mereka dan memutuskan hubunganku dari mereka. Kepada mereka itu Allah tidak akan menurunkan syafa'atku."

Makna yang terkandung dalam hadits ini adalah: mustahil akan terjadi pemutusan hubungan keturunan nabi saw kalau tidak dengan terputusnya nasab seorang anak dan tidak akan terputus nasab seorang anak kalau bukan disebabkan perkawinan syarifah dengan lelaki yang tidak menyambung nasabnya kepada nabi saw. Dan jika telah terjadi pemutusan hubungan tersebut, maka menurut hadits di atas Nabi Muhammad tidak akan memberi syafa'atnya kepada orang yang memutuskan hubungan keturunannya kepada Rasulullah melalui perkawinan syarifah dengan lelaki yang bukan sayid.

Sejarah menginformasikan kepada kita bahwa khalifah Abu Bakar dan Umar bersungguh-sungguh untuk melamar Siti Fathimah dengan harapan keduanya menjadi menantu nabi. At-Thabary dalam kitabnya yang berjudul Dzakhairul Uqba halaman 30 mengetengahkan sebuah riwayat, bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq pernah meminang Siti Fathimah oleh Rasulullah dijawab: "Allah belum menurunkan takdir-Nya". Demikian pula jawaban Rasulullah kepada Umar bin Khattab ketika meminang Siti Fathimah ra.. Mengapa mereka ingin menjadi menantu nabi? Dua orang sahabat itu meminang Fathimah, semata-mata ingin mempunyai hubungan kekerabatan dengan Rasulullah dan karena keutamaan-keutamaan yang diperoleh keluarga nabi menyebabkan mereka ingin sekali menjadi menantunya. Mereka mendengar Rasulullah bersabda:كلّ نسب وصهر ينقطع يوم القيامة الا نسبي وصهري"Semua hubungan nasab dan shihr (kerabat sebab hubungan perkawinan) akan terputus pada hari kiamat kecuali nasab dan shihr-ku".

Al-Baihaqi, Thabrani dan yang lain meriwayatkan bahwa ketika Umar bin Khattab ra meminang puteri Imam Ali ra yang bernama Ummu Kulsum, beliau berkata:

"Aku tidak menginginkan kedudukan, tetapi saya pernah mendengar Rasulullah saw berkata: 'Sebab dan nasab akan terputus pada hari kiyamat kecuali sababku dan nasabku. Semua anak yang dilahirkan ibunya bernasab kepada ayah mereka kecuali anak Fathimah, akulah ayah mereka dan kepadaku mereka bernasab.' Selanjutnya Umar ra berkata lebih lanjut: Aku adalah sahabat beliau, dan dengan hidup bersama Ummu Kulsum aku ingin memperoleh hubungan sabab dan nasab (dengan Rasulullah saw)."Orang lain saja (khalifah Abu Bakar dan khalifah Umar) ingin menjadi menantu nabi karena ingin mendapatkan keutamaan dan kemuliaan melalui perkawinan dengan keturunan Rasulullah saw , sebaliknya ada sebagian keturunan Rasulullah yang dengan sengaja melepas dan menghilangkan keutamaan dan kemuliaan itu pada diri dan keluarganya khususnya kepada keturunannya hanya karena mereka mengikuti nafsu untuk bebas memilih dan menikahkan anak perempuannya dengan seorang lelaki yang tidak sekufu' (bukan sayyid).

Seharusnya para keturunan Rasulullah yang hidup saat ini melipatgandakan rasa syukurnya kepada Allah, karena melalui kakeknya Nabi Muhammad saw mereka menjadi manusia yang memiliki keutamaan dan kemuliaan, bukan sebaliknya mereka kufur ni'mat atas apa yang mereka telah dapatkan dengan melepas keutamaan dan kemuliaan diri dan keturunannya melalui pernikahan yang mengabaikan kafa'ah nasab dalam perkawinan anak dan saudara perempuannya, yaitu dengan mengawinkan anak dan saudara perempuannya sebagai seorang syarifah dengan lelaki yang bukan sayyid.

Sebelum pernikahan kedua manusia suci itu, Siti Fathimah pernah dilamar oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq. Lamaran tersebut tidak diterima oleh Rasulullah dengan alasan Allah swt belum menurunkan wahyu-Nya untuk menikahkan Siti Fathimah. Begitu pula dengan Umar bin Khattab, beliau juga melamar Siti Fathimah, akan tetapi lamaran itu pun tidak diterima Rasulullah dengan alasan yang sama ketika menolak lamaran Abu Bakar Ash-Shiddiq. Akan tetapi ketika Ali bin Abi Thalib melamar Siti Fathimah kepada Rasulullah, saat itu juga Rasulullah menerima lamaran Ali bin Abi Thalib dan Rasulullah berkata: " Selamat wahai Ali, karena Allah telah menikahkanmu dengan putriku Fathimah ".

Secara selintas memang peristiwa tersebut merupakan pernikahan biasa yang dialami nabi sebagai seorang ayah, dan sebagai utusan Allah yang senantiasa menerima wahyu dari Tuhannya. Akan tetapi dibalik peristiwa itu, terkandung nilai-nilai yang disampaikan Allah kepada nabinya yaitu berupa hukum kafa'ah dalam perkawinan keluarga Rasulullah, dimana Allah mensyariatkan pernikahan Imam Ali bin Abi Thalib dan Siti Fathimah yang keduanya mempunyai hubungan darah dengan Rasulullah dan mempunyai keutamaan ganda yang tidak dimiliki oleh Abu Bakar dan Umar. Mereka adalah ahlul bait, dimana Allah telah menghilangkan dari segala macam kotoran dan membersihkan mereka dengan sesuci-sucinya.

Generasi Nabi saw lahir dari putrinya Fathimah ra. Beliau sangat mencintai mereka, al-Hasan dan al-Husein disebut sebagai anaknya sendiri, bahkan kepada menantunya, suami dari Fathimah ra, Rasulullah saw mengatakan:

"Seandainya Ali bin Abi Thalib tidak lahir ke bumi maka Fathimah tidak akan mendapatkan suami yang sepadan (sekufu'), demikian pula halnya dengan Ali, bila Fathimah tidak dilahirkan maka Ali bin Abi Thalib tidak pula akan menemukan istri yang sepadan (sekufu'), mereka dan anak-anaknya diriku dan diriku adalah diri mereka."

Abu Abdillah Ja'far al-Shaddiq mengatakan, "Seandainya Allah tidak menjadikan Amirul Mukminin (Imam Ali) maka tidak ada yang sepadan (sekufu') bagi Fathimah di muka bumi, sejak Adam dan seterusnya."

Para ulama seperti Abu Hanifah, Imam Ahmad dan Imam Syafii dalam masalah kafa'ah sependapat dengan pendapat khalifah Umar bin Khattab yang mengatakan: "Aku melarang wanita-wanita dari keturunan mulia (syarifah) menikah dengan lelaki yang tidak setaraf dengannya."

Menurut mazhab Syafii, Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbal, seorang wanita keturunan Bani Hasyim, tidak boleh dikawini oleh seorang laki-laki dari selain keturunan mereka kecuali disetujui oleh wanita itu sendiri serta seluruh keluarga (wali-walinya). Bahkan menurut sebagian ulama mazhab Hambali, kalaupun mereka rela dan mengawinkannya dengan selain Bani Hasyim, maka mereka itu berdosa. Sebaliknya, Imamiyah tidak mensyaratkan adanya kafaah dalam pernikahan. Menurut mereka sikap muslim yang baik adalah kufu' dengan wanita muslimah yang baik. Imam Ahmad bin Hanbal berkata:

"Wanita keturunan mulia (syarifah) itu hak bagi seluruh walinya, baik yang dekat ataupun jauh. Jika salah seorang dari mereka tidak ridho di kawinkannya wanita tersebut dengan lelaki yang tidak sekufu', maka ia berhak membatalkan. Bahwa wanita (syarifah) hak Allah, sekiranya seluruh wali dan wanita (syarifah) itu sendiri ridho menerima laki-laki yang tidak sekufu', maka keridhaan mereka tidak sah."

Seorang ulama yang terkenal yang dianggap pendobrak kebekuan pemikiran kaum muslimin seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang seorang Syarif yang putrinya dikawinkan dengan seorang bukan Syarif padahal si ayah tidak setuju, apakah nikah tersebut sah? Ibnu Taimiyah menjawab:

"Kafaah dalam hal nasab tidak merupakan persyaratan bagi Imam Malik. Adapun menurut Abu Hanifah, Syafii dan Ahmad dalam salah satu riwayat darinya– kafaah adalah hak isteri dan kedua orang tua. Maka apabila mereka semua rela tanpa kafu, sahlah nikah mereka. Akan tetapi dalam riwayat lainnya dari Ahmad, kafaah adalah " hak Allah "dan oleh karenanya tidaklah sah nikah tanpa adanya kafaah."

Dalam kitabnya 'Bughya al-Mustarsyidin' al-Allamah Sayid Abdurahman bin Muhammad bin Husein al-Masyhur, berkata:

"Seorang syarifah yang dipinang oleh orang selain laki-laki keturunan Rasulullah, maka aku tidak melihat diperbolehkannya pernikahan tersebut. Walaupun wanita keturunan Ahlul Bait Nabi SAW dan walinya yang terdekat merestui. Ini dikarenakan nasab yang mulia tersebut tidak bisa diraih dan disamakan. Bagi setiap kerabat yang dekat ataupun jauh dari keturunan sayyidah Fatimah Az-Zahra adalah lebih berhak menikahi wanita keturunan Ahlul Bait Nabi tersebut."

Selanjutnya beliau berkata:

"Meskipun para fuqaha mengesahkan perkawinannya, bila perempuan itu ridho dan walinya juga ridho, akan tetapi para fuqaha leluhur kami mempunyai pilihan yang para ahli fiqih lain tidak mampu menangkap rahasianya, maka terima sajalah kamu pasti selamat dan ambillah pendapatnya, jika kamu bantah akan rugi dan menyesal."

Dijelaskan oleh Sayyid Usman bin Abdullah bin Yahya (Mufti Betawi):

"Dalam perkara kafa'ah, tidaklah sah perkawinan seorang laki-laki dengan perempuan yang tidak sekufu' apalagi perempuan itu seorang syarifah maka yang bukan sayyid tidak boleh menikahinya sekalipun syarifah itu dan walinya menyetujuinya. Sekalipun para fakih telah berkata bahwa pernikahan itu sah namun para ulama ahlul bait mempunyai ijtihad dan ikhtiar dalam perkara syara' yang tiada di dapati oleh para fakih lain. Maka sesudah diketahui segala nash ini tentang larangan pernikahan wanita keturunan ahlul bait nabi SAW, sebaiknya menjauhkan diri dari memfatwakan bolehnya pernikahan syarifah dengan selain dari keturunan Rasulullah tersebut dengan berlandaskan semata-mata nash umum fuqaha, yakni nikah itu sah bila si wanitanya ridha dan walinya yang dekatpun ridha. Hal ini berlaku secara umum, tidak berlaku untuk syarifah dengan lain bangsa yang bukan sayyid."

Selanjutnya beliau berkata:

"Daripada yang menjadi godaan yang menyakitkan hati Sayidatuna Fathimah dan sekalian keluarga daripada sayid, yaitu bahwa seorang yang bukannya dia daripada bangsa sayid Bani Alawi, ia beristerikan syarifah daripada bangsa Bani Alawi, demikian juga orang yang memfatwakan harus dinikahkannya, demikian juga orang yang menjadi perantaranya pernikahan itu, karena sekaliannya itu telah menyakitkan Sayidatuna Fathimah dan anak cucunya keluarga Rasulullah saw."

Mufti Makkah al-Mukarromah, Sayid Alwi bin Ahmad al-Saqqaf , menjelaskan dalam kitabnya 'Tarsyih al-Mustafidin Khasiyah Fath al-Mu'in':

"Dalam kitab al-Tuhfah dan al-Nihayah disebutkan bahwa tidak ada satupun anak keturunan Bani Hasyim yang sederajat (sekufu') dengan anak keturunan Siti Fathimah. Hal ini disebabkan kekhususan Rasulullah saw, karena anak keturunan dari anak perempuannya (Siti Fathimah) bernasab kepada beliau dalam hal kafa'ah dan lainnya."

Pendapat-pendapat yang dikeluarkan oleh para ulama keturunan Rasulullah saw tersebut merupakan dalil hukum syariat yang dapat dijadikan pedoman dalam pernikahan seorang syarifah. Mengapa demikian? Dikarenakan mereka adalah hujjah-hujjah Ilahi yang berusaha menjaga umat ini dan memelihara kelurusan terhadap penyimpangan dari aspek-aspek ibadah dan lain-lain. Oleh karena itu, umat ini seyogyanya berpegang teguh kepada mereka serta tidak mendahului dan tidak mengabaikan mereka. Orang yang bersandar dan mengikuti mereka tidak akan tersesat, sebagaimana tidak akan tersesat orang yang bersandar pada alquran, hal tersebut adalah jaminan Rasulullah kepada ummatnya, sebagaimana sabda beliau saw yang dinamakan dengan hadits al-Tsaqalain:

"Kepada kalian kutinggalkan sesuatu yang jika kalian berpegang teguh kepadanya sepeninggalanku kalian tak akan tersesat: Kitab Allah sebagai tali yang terentang dari langit sampai ke bumi, dan keturunanku, ahlul baitku. Dua-duanya tidak akan terpisah hingga kembali kepadaku di Haudh (sorga). Perhatikanlah kedua hal itu dalam kalian meneruskan kepemimpinanku."

Mengenai ucapan Rasulullah saw: "Dua-duanya tidak akan terpisah hingga kembali kepadaku di Haudh" dan ucapan beliau: "jika kalian berpegang teguh kepadanya sepeninggalanku kalian tak akan tersesat" yang dimaksud adalah para ulama yang berasal dari keturunan ahlul bait, tidak berlaku bagi orang-orang selain mereka. Mereka mempunyai keistimewaan sebagai teladan dan berada pada martabat lebih tinggi daripada yang tidak mempunyai keistimewaan sebagai teladan. Kita wajib berteladan kepada ulama dari kalangan mereka, dengan menimba dan menghayati ilmu-ilmu mereka yang telah dijamin oleh Allah swt. Rasulullah saw dengan ucapannya menunjuk anggota-anggota keluarga keturunan beliau, dikarenakan mereka mempunyai keistimewaan dapat memahami apa yang diperlukan (hikmah-hikmah yang terkandung dalam suatu perkara, yang tidak dapat dipahami oleh ulama selain mereka). Sebab kebaikan unsur penciptaan yang ada pada mereka dapat melahirkan kebaikan akhlaq, dan kebaikan akhlaq akan menciptakan kebersihan dan kesucian hati. Manakala hati telah bersih dan suci ia akan memberikan cahaya terang dan dengan cahaya itu dada akan menjadi lebih cerah. Semuanya itu merupakan kekuatan bagi mereka dalam usahanya memahami apa yang harus dilakukan menurut perintah syariat. Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya yang berjudul al-Aqidah al-Wasithiyah memberi tanggapan terhadap hadits tsaqalain sebagai berikut:

"Dua kalimat hadis tsaqalain yang menyatakan 'dua-duanya tidak akan terpisah hingga kembali kepadaku di Haudh', dan 'jika kalian berpegang teguh kepadanya sepeninggalanku kalian tak akan tersesat', hal tersebut tidak hanya berlaku bagi para Imam atau orang-orang terkemuka dari keluarga keturunan Rasulullah saw saja, melainkan berlaku juga bagi semua orang yang berasal dari keluarga keturunan beliau, baik yang awam maupun yang khawas, yang menjadi Imam maupun yang tidak."

Perkataan Ibnu Taimiyah semakin menjelaskan bahwa masalah kafa'ah yang dilaksanakan oleh para keturunan Rasulullah -baik ia seorang ulama ataupun ia seorang awam- di mana status mereka sebagai padanan alquran, bukanlah suatu yang bertentangan dengan ajaran Islam atau berdasar kepada adat semata-mata.

Disamping itu, hal itu dilakukan berdasarkan dalil-dalil yang terdapat dalam alquran, diantaranya surat Surat al-Ra'du ayat 21:

"dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungan (mengadakan hubungan silaturahmi dan tali persaudaraan), dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk."

Surat Muhammad ayat 22-23:

"Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa, kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?. Mereka itulah orang-orang yang dila'nati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka."

Sebagai pelengkap uraian di atas, seorang hakim pengadilan Mesir memfasakhkan pernikahan seorang syarifah yang menikah dengan lelaki yang bukan sayid seperti yang terdapat dalam Fatawa al-Manar, Juz VII, hal 447 ditulis:

"Sebagaimana yang pernah terjadi dalam kasus peradilan di Mesir pada sekitar tahun 1904, mengenai perkawinan Syekh Ali Yusuf, pemimpin majalah al-Mu'ayyad dengan sayidah Shofiyah binti sayid Abdul Khaliq al-Saadat. Hakim syar'i menetapkan batalnya akad berdasarkan tidak adanya kafa'ah. Karena si perempuan dari golongan Alawiyah sedang syekh Ali Yusuf bukan orang Alawi."

Sungguh patut disesalkan jika seseorang dalam suatu pernikahan mengangkat wali kuasa sebagai wali nikah (wali hakim) dan dengan sengaja menikahkan wanita tersebut tanpa seizin wali terdekatnya, apalagi tidak sekufu' serta seorang syarifah yang kawin lari dengan laki-laki yang bukan sayid dikarenakan orang tua mereka tidak menyetujui pernikahan tersebut. Tindakan tersebut merupakan suatu hal yang mengganggu Rasulullah SAW dan menyakitinya apabila terjadi suatu perkawinan terhadap putri-putri dari keturunan beliau dengan tanpa pertimbangan kafa'ah terlebih dahulu, melalaikan amanat dan tidak memperhatikan serta tidak menjaga perihal hubungan nasab keturunan beliau. Sehubungan dengan itu, Allah SWT berfirman dalam Alquran:

"Tidak boleh bagi kalian menyakiti diri Rasulullah SAW dan tidak boleh mengawini isteri-isterinya selama-lamanya setelah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu amat besar dosanya di sisi Allah SWT."

Dari ayat tersebut kita dapat memahami dan mengambil kesimpulan, bahwa apabila isteri-isteri Nabi saw saja dilarang bagi orang-orang lain untuk mengawini mereka karena dianggap akan mengganggu Rasulullah saw, di mana ikatan mereka dengan Rasul karena adanya hubungan pernikahan, apalagi terhadap anak cucu beliau yang bersambung karena hubungan nasab , darah dan kefamilian.

Jika kita membaca sejarah, ketika anak perempuan Abu Lahab meninggalkan orang tuanya dan hijrah ke Madinah, beberapa orang dari kaum muslimin berpendapat bahwa hijrah mereka ke Madinah tidak ada gunanya sama sekali, karena orang tua mereka adalah umpan api neraka. Ketika anak perempuan Abu Lahab melaporkan hal tersebut kepada Rasulullah, beliau bersabda:

"Kenapa masih ada orang-orang yang masih menggangguku melalui nasab dan kerabatku? Barang siapa mengganggu nasabku dan kaum kerabatku berarti ia menggangguku, barang siapa menggangguku berarti ia mengganggu Allah SWT"

Begitu pula sabda Rasulullah SAW:اشتدّ غضب الله على من اذاني في عترتي"Amat keras murka Allah SWT atas orang-orang yang menyakiti aku di dalam hal keturunanku ". Penafsiran tentang makna dzurriyah.

Sebagaimana telah dketahui bahwa "keturunan Rasulullah" ialah mereka yang telah diberi karunia besar berupa martabat kemuliaan dari Allah swt. Siapakah keturunan Rasulullah itu? Beberapa ulama memberi definisi dan batasan mengenai keturunan Rasulullah saw, sebagai berikut:

Syaikhul Islam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata dalam kitabnya 'Jala' al-Afham' halaman 138 menjelaskan beberapa makna 'aal Muhammad saw' (keluarga Nabi) yang mengklasifikasikan menjadi empat pendapat. Di antara pendapat tersebut mengatakan bahwa 'aal Muhammad' ialah: khusus anak cucu Rasulullah saw dan para isteri beliau. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik berasal dari Nu'aim bin Mujmar. Akan tetapi pendapat yang mengatakan 'aal Muhammad' ialah isteri-isteri Nabi tidak didukung oleh dalil-dalil yang kuat. Menurut Sayyid Alwi bin Thahir Al-Haddad:

"Jika ayat itu turun untuk istri-istri Nabi tentunya pembicaraan akan tetap tertuju kepada mereka sebagaimana dalam ayat sebelumnya. Akan tetapi penggunaan dhamir mudzakkar menunjukkan bahwa pembicaraan (khitab) bukan dengan mereka. Adapun peletakan ayat ini di tengah ayat-ayat yang membicarakan istri-istri Nabi menunjukkan adanya hikmah pada perintah-perintah yang diwajibkan atas istri-istri Nabi tersebut dan ini cukup sebagai alasan peletakannya dan sekaligus menggugurkan alasan mereka yang menjadikan siyaq al-ayat sebagai dalil bahwa ayat itu untuk istri-istri Nabi".

Di dalam riwayat Muslim disebutkan: Kami bertanya, "Apakah istri-istri Nabi saw termasuk Ahlul Bait?" Ia menjawab, "Tidak, karena istri tinggal bersama suami hanya beberapa saat saja. Kemudian jika ia diceraikan, ia kembali kepada keluarganya. Ahlul Baitnya adalah keluarga yang haram menerima sedekah sepeninggal Nabi."

Dalam riwayat lain disebutkan: "Sesungguhnya telah aku tinggalkan untukmu sesuatu yang jika kalian ambil, kalian tidak akan tersesat sepeninggalku, yaitu ats-Tsaqalain. Pertama, Kitab Allah sebagai tali yang terbentang di antara langit dan bumi. Kedua, keluargaku, Ahlul baitku. Keduanya tidak akan terpisah hingga kembali kepadaku di al-Haudh.

Hal ini menjelaskan bahwa istri-istri Nabi tidak termasuk ke dalam keluarga atau ahlul baitnya. Juga ditegaskan bahwa keluarga atau ahlul bait itu keluarga yang senasab saja. Hal ini sesuai dengan pendapat Mufti Makkah Syeikh Muhammad Said bin Muhammad Babushail, yang mengemukakan pendapatnya dalam kitab 'Al-Durar al-Naqiyah Fi Fadha'ili Dzurriyati Khair al-Barriyah'. Dalam kitab tersebut ia mengatakan bahwa: 'Kaum kerabat Nabi saw (termasuk anak cucu keturunan beliau) adalah keluarga yang mempunyai pertalian nasab.'

Setelah makna 'aal Muhammad' bukan ditujukan untuk istri-istri Nabi, maka makna 'aal Muhammad' tersebut tertuju kepada anak-cucu (keturunan) Rasulullah saw. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah mengatakan: Tidak ada perbedaan di kalangan ahli bahasa bahwa makna Dzurriyah itu adalah keturunan baik yang masih anak-anak maupun yang sudah dewasa. Sebagaimana dinyatakan oleh Allah dalam firman-Nya surat Al-Baqarah ayat 124:Dan ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan beberapa nikmat, maka ia menunaikannya. Allah berfirman: Aku akan menjadikan kamu Imam bagi seluruh manusia. Ibrahim berkata dan dari keturunanku …"

Kemudian Ibnu Qayyim berkata: Jika hal ini ditetapkan maka Dzurriyah adalah anak-anak dan anak-anak mereka. Lalu apakah anak-anak perempuan termasuk ke dalam dzurriyah? Dalam hal ini terdapat dua pendapat. Keduanya berdasarkan dua riwayat dari Ahmad: Pertama, memasukkan anak-anak wanita ke dalam Dzurriyah Mereka berpendapat bahwa ummat Islam sepakat anak-anak dari Fathimah adalah Dzurriyah Nabi saw, yang kepada mereka ini Allah memerintahkan bershalawat. Karena tak ada seorang pun dari puteri-puteri Nabi saw kecuali Fathimah yang mempunyai keturunan, maka tidak ada orang yang bernasab kepada Rasulullah kecuali dari Fathimah saw. Oleh karenanya nabi berkata: Sesungguhnya puteraku ini sayyid.

Mereka berkata: "Dan juga Allah swt berfirman akan hak Ibrahim as (Surat Al-An'am ayat 84-85):

"…dan kepada sebahagiaan dari keturunan (Nuh) yaitu Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun. Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Dan Zakaria, Yahya, Isa dan Ilyas, semua termasuk orang-orang yang saleh"

Dan alquran surat Ali Imran ayat 61:

"Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): "Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu…".

Kedua, adapun orang yang tidak memasukkan anak wanita ke dalam Dzurriyah, ia berhujjah bahwa anak-anak dari anak perempuan, mereka pada hakikatnya hanya bernasab kepada ayahnya. Karena jika puteri Bani Hasyim menikah dengan selain Bani Hasyim kemudian mempunyai keturunan, maka anaknya itu bukan keturunan Bani Hasyim, sebab ia bernasab kepada ayahnya. Karena itu seorang penyair mengatakan:بنونا بنوا ابنائنا وبناتنا بنوهن اولاد الرجال الاباعدKeturunan kami adalah keturunan dari anak laki-laki dan wanita kami, Keturunan dari puteri kami adalah keturunan dari laki-laki yang terjauh.

Mereka berkata: adapun masuknya Fathimah ke dalam Dzurriyah Nabi saw karena kemuliaannya, keagungan dan martabat ayahnya Muhammad saw yang tidak ada satupun manusia yang sama dengannya di dunia. Dengan demikian maka Dzurriyah Nabi dari puterinya itu merupakan kelanjutan dari keluhuran dan kemuliaan martabat Nabi saw, sebagaimana Thabrani meriwayatkan hadits dari Siti Fathimah ra, bahwasanya Rasulullah menegaskan:كل ابن انثى ينتمون الى عصبتهم ال ولد فاطمة فإني انا وليهم وانا عصبتهم وابوهمSemua anak yang dilahirkan oleh ibunya bernasab kepada ayah mereka kecuali Fathimah, akulah wali mereka, akulah nasab mereka dan akulah ayah mereka.Kita mengetahui bahwa kemuliaan dan keagungan seperti itu tidak dapat kita temukan pada para pembesar, raja-raja dan lainnya karena mereka tidak memandang keturunan dari anak perempuan mereka sebagai Dzurriyah yang meneruskan kebesaran dan kemuliaan mereka.

Mereka berkata: Adapun alasan dengan masuknya Al-Masih (Isa as) dalam keturunan Ibrahim as, bukan merupakan argumentasi yang kuat, karena sesungguhnya Al-Masih tidak memiliki seorang ayah, maka nisbatnya dari pihak ayahnya mustahil, hingga ibunya menempati posisi ayahnya (oleh karena itu Allah swt menisbatkannya kepada ibunya). Demikian juga setiap orang terputus nasabnya dari ayahnya, baik karena sumpah li'an ataupun yang lainnya, maka ibunya menempati posisi ayahnya sekaligus sebagai ibunya dalam nasab.

Itu adalah salah satu riwayat dari Imam Ahmad, dan itu sesuai dengan tuntutan nash. Dan pendapat Ibnu Mas'ud ra dan lainnya, menurut kaidah pendapat itu benar, karena nasab seseorang asalnya kepada ayahnya. Jika nasabnya terputus dari arah ayahnya, ia kembali kepada ibunya walaupun kembalinya dari ayahnya telah ditentukan, ia tetap kembali dari ibunya kepadanya. Demikian juga, sebagaimana yang disepakati mayoritas umat atasnya dalam kewalian, bahwasanya ia adalah milik wali bapak, jika kembalinya ia kepada mereka sulit, maka ia berada dalam kewalian ibunya namun jika kembalinya ia kepada mereka dimungkinkan, ia kembali dari ibu kepada sumbernya dan asalnya.

Sehubungan dengan masalah tersebut, pada dasarnya yang dimaksud dengan keturunan ahlul bait khususnya mereka yang berasal dari keturunan Al-Hasan dan Al-Husein, bukan keturunan dari dua orang saudara perempuan mereka, kendatipun semuanya adalah putri-puteri Fathimah binti Muhammad saw. Ketentuan tersebut didasarkan pada sebuah hadits shahih berasal dari Jabir ra, diketengahkan oleh Al-Hakim di dalam 'Mustadrak' dan oleh Abu Ya'la di dalam Musnadnya ; bahwasanya Siti Fathimah ra meriwayatkan ayahandanya saw berkata:لكلّ بني ادم عصبة الاّ ابني فاطمة , انا وليّهما وعصبتهماSemua anak Adam dilahirkan oleh seorang ibu termasuk di dalam suatu Usbah – yakni kelompok dari satu keturunan – kecuali dua orang putera Fathimah. Akulah wali dan 'usbah mereka berdua.

Yang dimaksud "dua orang putera Fathimah" dalam hadits tersebut ialah al-Hasan dan al-Husein. Dengan memperhatikan lafazd hadits tersebut, dapat diketahui dengan jelas bagaimana Rasulullah mengkhususkan pengelompokkan al-Hasan dan al-Husein sebagai keturunan beliau, sedangkan dua orang saudari perempuan mereka (Zainab dan Ummu Kulsum) dikecualikan dari pengelompokkan nasab tersebut di atas, karena anak-anak dari dua orang puteri Siti Fathimah itu bernasab kepada ayahnya masing-masing yang bukan dari ahlul bait Rasulullah saw.

Itulah sebabnya kaum salaf dan khalaf memandang anak lelaki seorang syarifah (wanita keturunan ahlul bait Rasulullah saw) tidak dapat disebut sayyid atau syarif jika ayahnya bukan seorang sayyid atau syarif. Kalau pengkhususan tersebut di atas berlaku umum bagi semua anak yang dilahirkan oleh anak cucu perempuan Rasulullah, tentu anak lelaki seorang syarifah adalah syarif yang diharamkan menerima shadaqah, walaupun ayahnya bukan seorang syarif.

Karena itu pula Rasulullah saw menetapkan kekhususan tersebut hanya berlaku bagi dua orang putera Siti Fathimah, tidak berlaku bagi puteri-puteri Rasulullah selain Siti Fathimah , karena kakak perempuan Siti Fathimah yaitu Zainab binti Muhammad saw tidak melahirkan putera lelaki tetapi hanya melahirkan anak perempuan yaitu Amamah binti Abul 'Ash bin Rabi' seorang pria bukan dari kalangan ahlul bait Rasulullah. Ketentuan itu diambil oleh Rasulullah semasa hidupnya. Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak Amamah tidak bernasab kepada Nabi saw, karena Amamah adalah anak perempuan dari puteri beliau Zainab yang menjadi isteri seorang pria bukan dari ahlul bait, sedangkan Zainab sendiri jelas bernasab kepada Rasulullah. Seumpama Zainab melahirkan anak lelaki dari suami seorang ahlul bait, tentu bagi anak lelakinya itu berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi Al-Hasan dan Al-Husein yaitu bernasab kepada Rasulullah saw.

Dalam mengomentari keutamaan keturunan Rasulullah saw melalui Siti Fathimah , al-Allamah Ibnu Hajar dalam kitabnya 'Al-Shawaiq al-Muhriqah', menerangkan sebagai berikut: Barang siapa mengganggu salah seorang putera Fathimah, ia akan menghadapi bahaya karena perbuatannya itu membuat marah Siti Fathimah ra. Sebaliknya barang siapa mencintai putera-putera Fathimah ra, ia akan memperoleh keridhoannya. Para ulama khawas (yakni ulama yang mempunyai keistimewaan khusus) merasa di dalam hatinya terdapat keistimewaan yang sempurna karena kecintaan mereka kepada Rasulullah saw dan keturunannya disebabkan mereka (keturunan Nabi saw) mempunyai dzat mulia yang diciptakan dari nur Muhammad sebelum Allah menciptakan bumi dan langit. Sebagaimana Nabi saw bersabda:

Allah telah menciptakan cahaya Fathimah sebelum menciptakan bumi dan langit. Sebagian sahabat bertanya, "ya Rasulullah! Bukankah dia adalah manusia biasa? Rasulullah menjawab: "Dia adalah bidadari berbentuk manusia."

Dan diantara tanda-tanda bidadari yang ada pada dirinya adalah bahwa dia tidak pernah melihat darah yang keluar dari rahim. Demikianlah Fathimah ra, ia suci dari haid dan nifas seperti yang disepakati oleh kaum muslimin.

Yang menjadi pertanyaan, apakah seorang anak yang lahir dari perkawinan antara syarifah dengan lelaki yang bukan sayyid mendapat keutamaan dan kemuliaan sebagai ahlul bait? Jawabnya sangat jelas, bahwa anak tersebut tidak mendapatkan keutamaan dan kemuliaan sebagai ahlul bait dan keistimewaannya sebagaimana yang disebutkan dalam alquran dan hadits, disebabkan anak yang mereka lahirkan tidak tergolong ahlul bait (keturunan) nabi, melalui puterinya Siti Fathimah ra dan kedua puteranya Al-Hasan dan Al- Husein. Rasulullah saw mengkhususkan pengelompokkan Al-Hasan dan Al-Husein sebagai keturunan beliau, sedangkan dua orang saudari perempuan mereka (Zainab dan Ummu Kulsum) dikecualikan dari pengelompokkan nasab tersebut di atas, karena anak-anak dari dua orang puteri Siti Fathimah itu bernasab kepada ayahnya masing-masing yang bukan dari ahlul bait Rasulullah saw.

Berdasarkan nash-nash tersebut dan ijma ulama, maka ditetapkan bahwa anak yang dilahirkan oleh seorang syarifah (wanita keturunan ahlul bait Rasulullah saw dari puterinya Siti Fathimah serta puteranya Al-Hasan dan Al-Husein) tidak dapat disebut sayyid atau syarif jika ayahnya bukan seorang sayyid atau syarif.